tuturku

Wednesday, May 11, 2005

“Hitam … Putih ...”

“Hitam … Putih ...”

Ingatanku bekerja mundur ke belakang mengingat-ingat peristiwa 7 tahun yang lalu yang menjadi tragedi nasional yang kemudian disusul dengan gerakan anarkis-rasis yang memporakporandakan perpolitikan, ekonomi maupun seluruh aspek kehidupan yang membuat negaraku seakan kekurangan darah yang mengalir ke otak menjadikan dirinya lumpuh. Sudah umum terpampang di komplek pertokoan tulisan “Milik Pribumi” atau syahadat sekedar untuk berlindung dari arena pembakaran. Saat itu aku seakan seia dengan apa yang telah mereka lakukan pada orang-orang cina, layak dengan ganjaran atas apa yang telah mereka lakukan pada negeri ini, dimana mereka telah mengeruk, menghabiskan kekayaan. Seakan kita menjadi budak di negeri sendiri. Aksi-aksi membabibuta lainnya yang tak kalah mengerikannya seperti pemerkosaan pada perempuan keturunan tionghoa membawa diriku menuju tingkat kepuasan tertinggi, kenyang akan kekerasan yang telah ditunjukkan pada “Penjajah”.

“Hitam … Putih ...”

Masa laluku itu telah membawaku kepada sifat antipati luar biasa akan orang-orang yang telah saya perlakukan sebagai penjajah ini meskipun diriku merasa tak pernah dirugikan oleh keberadaan mereka, hanya rasa dengki yang membara dalam hati. Tetapi fakta mengatakan lain sudah 6 bulan diriku bekerja di perusahaan asing keuangan yang sudah go public, entah kebetulan atau tidak perusahaan asing ini milik seorang warga keturunan yang telah kuanggap sebagai orang yang hina di negeriku. Dalam pekerjaanku aku sangat dipercaya sehingga diriku menjadi atasan bagi sebagian besar orang-orang keturunan ini meskipun diriku adalah anak pribumi, bahkan diriku telah diangkat dengan posisi yang nyaman dan gaji yang cukup besar setelah berkali-kali berpindah-pindah pekerjaan.

“Hitam … Putih ...”

Sejak mengisi jabatanku yang sekarang aku dikenalkan pada Mei Hwa, seorang direksi sekaligus anak dari bos besar yang menurut pandangan pribumiku cantik apalagi dari kacamata orang-orang yang satu ras dengan dia. Mei Hwa yang kuanggap sebagai atasan teladan yang membuat diriku termotivasi dalam bekerja. Mei Hwa yang telah menganggap diriku sebagai orang yang bisa dipercaya. Diriku seakan takjub dan tak terpikirkan bagi seorang Mei Hwa, anak keturunan Cina akan peristiwa tragedi kemanusian orang keturunan cina beberapa tahun yang lalu.

“Hitam … Putih ...”

Lambat laun hubunganku dengan Mei Hwa semakin bersemi bagai kuncup bunga mawar di musim hujan. Kuingin bangun dari tidurku jika ini memang mimpiku, tetapi mimpiku terus berjalan tanpa henti dan seakan mendekati kenyataan. Dan apa yang kutakutkan itu akhirnya bersemi dan tumbuh dalam kenyataan. Ada sesuatu yang hilang begitu dia tak ada di sampingku. Aku bukan hanya terpana parasnya tetapi juga hatinya yang membuat hatiku mencair bagai gunung es kutub yang ditimpa teriknya matahari gurun. Aku telah jatuh cinta padanya. Aku membutuh Mei Hwa dalam tiap hembusan nafasku. Aku telah mengkhianati kata hatiku yang dahulu rasis Anti-Cina dan sekarang keadaan berkata lain aku harus bisa mendapatkan Mei Hwa untuk dapat mengisi kehampaan dalam hatiku.

“Hitam … Putih ...”

Lambat laun, waktu terus bergulir seakan tak peduli apa yang terjadi pada kita berdua. Cinta yang panas membara menggelora dalam diriku dan Mei Hwa. Hal yang terasa pahit masih saja terasa manis, diriku serasa terbuai mimpi dalam perasaan cinta yang mendalam bersamanya. Gejolak cinta yang mendalam menjerumuskan diriku dalam nafsu yang berapi-api hingga kami sempat merasakan manisnya buah terlarang yang mestinya tak kami lakukan

“Hitam … Putih ...”

Kuingin mengutarakan apa yang kurasakan selama ini pada diri Mei Hwa, ku tak mampu menderita karena perasaan cintaku yang demikian besar meskipun di lain hal terasa pahit untuk menghianati ego-ku. Kutunggu saat yang terbaik setelah Mei Hwa pulang dari melakukan perjalanan dinasnya ke Singapura. Satu minggu terlewati, Mei Hwa mengatakan merindukan aku, Dua … Tiga minggu terlewati, tak biasanya dirinya selama ini meninggalkan diriku dalam rangka tugasnya. Lebih dari satu bulan diriku menunggu hal yang tak pasti, tak ada angin yang membawakan kabar dari Mei Hwa untukku. Aku tak bisa mengkonsentrasikan pada pekerjaanku lagi. Aku depresi! Karirku hancur, ku tak peduli lagi.

“Hitam … Putih ..."

Aku meninggalkan pekerjaanku demi Mei Hwa. Kan kucari dia setelah ku diberi alamat apartemennya di Singapura oleh orang terdekatnya yang merupakan bawahanku di kantornya juga. Aku akan mengutarakan semuanya perasaanku padanya.

“Hitam … Putih ...”

Di negeri ini aku tak punya siapa-siapa, hanya bumi yang setia padaku tempatku berpijak dan langit yang selalu memayungi diriku dalam perjalananku. Sampai suatu hari disudut sebuah kota kutemukan tempat tinggal Mei Hwa. Apartemen No. 1203! Lirih berdoa semoga Mei Hwa masih menempati apartemennya, dan yang lebih penting masih mengenalku. Dengan jari gemetar kutekan bel apartemennya. Satu kali tak ada tanda orang yang membukakan pintu. Kutekan lagi untuk yang kedua kali, kali ini ada suara anak-anak yang memanggil-manggil mamanya. “Salah nomorkah aku?” Bergegas kulihat kembali alamat yang telah lusuh oleh basahnya keringat, “Ah … Benar!” tak salah lagi aku yakin sekali. Kubiarkan diriku mematung sambil membayangkan akan bertemu Mei Hwa kembali.

“Hitam … Putih ...”

Pintu apartemen terbuka, oleh seorang anak laki-laki. Warna kulitnya coklat kehitaman, dengan rambut ikal. Dia menyapaku
“Who are you?”
Aku masi bertanya-tanya dalam hatiku, “Sial! Mei Hwa sudah pindah dari apartemennya”. Tiba-tiba dari dalam kudengar suara wanita yang memanggil anak tadi,
“Who’s this Andy?”
Aku kenal sekali suara tersebut, meskipun kami tak pernah bertemu lagi tapi aku yakin sekali suara Mei Hwa. Langkahnya datang dari sebelah kiri pintu sehingga tak terlihat olehku. Hingga saat dia di depan pintu aku baru sadar kalau dia memang benar benar Mei Hwa yang selama ini telah lama hilang dan aku cari dalam setiap jengkal hidupku. Dia seakan tak percaya siapa yang dihadapannya, akupun termangu juga sedangkan anak tersebut bergantian melihat kami berdua
“Mom …”.
Terlepas lamunan Mei Hwa padaku. Kini aku yang terhenyak akan sapaan Mom pada diri Mei Hwa. Dalam hatiku mengatakan, sejak kapan Mei Hwa mempunyai anak? Siapa suaminya? Siapapun anak itu ku tak percaya jika itu adalah anak Mei Hwa, tak ada kemiripan sama sekali. Tak percaya dengan apa yang kusaksikan. Bibirku mulai mengucapkan sesuatu meskipun kelu.
“Mei Hwa, kemana dirimu selama ini?”
Aku mencarimu untuk dirimu. Pecahlah air mata dari bola mata Mei Hwa.
“Toni, maafkan aku, aku tak mau menyakiti dirimu, tinggalkan kami berdua bersama anakku Andy”
“Aku tak mungkin bisa bersamamu kembali, yang akan menguak lukaku bersama Andy 7 tahun silam.”
Salam terakhir dari Mei Hwa untukku sebelum pintu itu ditutup.


Jakarta, 26 April 2005, 11.30 PM

2 Comments:

  • Hm... terus terang g bingung.. si Andy itu anaknya mereka?

    By Blogger ochep, at 11:52 PM  

  • .. hmm ampe bengong bacanya

    By Blogger Diva, at 2:54 AM  

Post a Comment

<< Home