tuturku

Monday, September 25, 2006

Sebutir Proyektil Ketidakadilan

Malam gulita berpayung awan gelap
Hitam pekat berkumpul
Mencurah gerimis tipis
menangisi tanah berbalur darah

Blarrr ...

Timah panas dilontarkan pelatuk bedil-bedil
Sepersekian ribu detik membelah udara
Sepersekian ribu detik selanjutnya
menghujam kulit menembus jantung

Membelah dan merobek pembuluh darah
Menjemput sakratul maut dalam damai

Malam masih gulita berpayung awan gelap
Masih hitam pekat berkumpul
Masih mencurahkan gerimis tipis
Masih menangisi tanah berbalur darah

Ditambah bau mesiu dan pengkhianatan keadilan tersisa

Jakarta, 25 September 2006, 4:59 PM

Wednesday, August 23, 2006

Merdeka

Merdeka dari penindasan
Merdeka dari kemiskinan
Merdeka dari ketidakadilan
Merdeka dari kebodohan
Merdeka dari kekeringan
Merdeka dari banjir
Merdeka dari hutang
Merdeka dari konflik
Merdeka dari penggusuran
Merdeka dari bias gender
Merdeka dari birokrasi
Merdeka dari ketakutan
Merdeka dari polusi
Merdeka dari kemacetan
Merdeka dari kabut asap
Merdeka dari harga bahan pokok yang terus melangit
Merdeka dari sampah

Merdeka untuk berbicara
Merdeka untuk beribadat
Merdeka untuk berbudaya
Merdeka untuk hidup damai
Merdeka untuk menghirup udara segar

Merdeka untuk Merdeka

Dirgahayu Indonesiaku

Monday, May 29, 2006

57'

Tak ada lagi canda
Tersisa tangis duka
Ketika lara datang mendera

Tak ada tawa, habis duka
Luka kian menganga
Bertambah besar dan melebar
Harapan hidup kian menghimpit

Lima Puluh Tujuh Detik yang meluluhlantakkan
Menghancurkan sendi-sendi kehidupan
Meratakan pundi-pundi kesejahteraan
Meninggalkan puing-puing tersisa

Bunga Duka smoga berangsur mengering
Digantikan tunas segar untuk hidup baru

Jakarta, 29 Mei 2006

Sunday, May 14, 2006

Merapi

asap meletup letup
membumbung tinggi
menyeruak birunya langit

api mencair, meleleh
membelah bukit
memerah layaknya darah

rusa kepanasan,
burung terbang kebingungan
mengering pohon, rerumputan dibalur abu

Merapi lagi sakit
Merapi lagi tak bersahabat
Merapi mengutuk negri

Jakarta, 15 Mei '06, 09:33 AM

Friday, April 21, 2006

Ini Aku Bumimu

tanah tlah menjadi gersang
titik- titik air hujan mengembara tak tentu arah
perutku kelelahan
segala limbah racun membinasakan

semuanya diekspoitasi
menyisakan luka menganga

ku makin renta
tak ada yang menjagaku

sirami aku dengan kehidupan
tanami aku dengan kesejukan
siangi aku dengan cinta

maka aku hidup

Hari Bumi, 22 April 2006

Thursday, April 20, 2006

Harga Gengsi

Sejurus aku hampir meninggalkan Jakarta menuju ke Jogjakarta untuk singgah beberapa saat sebelum meneruskan perjalanan ke rumah.

Sebelum kusandarkan badanku ke kursi pesawat, kusimpan tas pakaianku ke bagasi di atas tempat dudukku, tiba-tiba ada aroma yang menyengat yang menyentuh indera penciumanku. Aroma khas BB! Penasaran kubiarkan hidungku mencari-cari sumbernya, ternyata tak jauh dari tempat aku duduk duduk pula beberapa orang yang aku rasa semuanya berawal dari situ.

Sedetik aku merasakan perasaan yang kurang enak berdekatan dengan mereka, tetapi selintas kemudian perasaan itu berangsur angsur luntur, aku merasa berdosa telah mengadili mereka dengan perasaan-perasaanku, toh ini bukan pesawat pribadiku yang mana orang bebas mau menumpangnya.

Aku jadi tertarik melihat tingkah polah mereka. Duduk di bangku jumlah 3, mengisi 2 baris. Kulihat mereka menggunakan pakaian layaknya orang kampung, jauh dari modern, bahkan setelah saya perhatikan ada dari mereka yang hanya menggunakan sandal jepit swallow warna hijau. Saya mengamati dia karena dia yang paling bisa saya perhatikan karena kita sama-sama duduk di gang. Beberapa saat setelah lepas landas, dia melepaskan sandal jepitnya kemudian menaruh kakinya diatas layaknya menaiki bis ekonomi non ac.

Saat itu aku trenyuh, tersentuh, sekaligus salut. Aku membayangkan tidak setiap kali mereka pulang kampung selalu menumpang pesawat karena bagi mereka naik pesawat adalah hal yang sangat mewah. Aku berpikir mereka sudah menyisihkan hasil dari pekerjaan mereka jauh jauh hari sedikit demi sedikit untuk dapat merasakan kursi pesawat dan terbang bersama-sama. Pastinya mereka menumpang pesawat bukan karena gengsi-gengsian ataupun dikejar waktu oleh pekerjaan.

Bagi mereka harga sebuah gengsi sesuatu yang mahal, yang dapat melambungkan mereka pada posisi lebih tinggi, dimana bakal menjadi kebanggaan untuk dapat membagikan pengalaman pada kerabat dan tetangga di kampung.

Pikiranku terlalu sempit dan memandang mereka kecil dengan menilai tampak luarnya saja, dari yang mereka kenakan. Karena justru aku yang merasa kerdil dibandingkan mereka, dengan bersembunyi dibalik modernitas, gengsi, dan tabiat kota besar yang sering meremehkan tak memberikan harapan dan kesempatan kepada mereka.

Antara Cengkareng - Jogjakarta, 13 April 2006, 3:33 PM

Monday, September 05, 2005

... (tak mampu berucap)

Burung besi menukik, terjerambab kembali ke kulit bumi
Melindas, menerjang semua

Tubuhnya mencakar bumi
Lidah api menjilat

Perut terburai, menyerpih
Terbelah ...

Asap hitam membumbung
Hiruk pikuk bercampur kepanikan

Tanah dibasahi darah
Aroma daging terbakar

Kering Air Mata
Bibir mengatup membisu
Hati ngilu, perih tak terperi

Maafkan hambamu Ya Tuhan ...

(Jakarta, 5 September 2005)