tuturku

Friday, May 14, 2004

Vonis Banjir

Dimulai dari siang hari ketika makan siang, badai mengguyur Jakarta, dengan angin yang meminta korban payung dan hampir saja merenggut nyawa payung lain jika terbang.

Ketika sore hari waktunya berhenti untuk mengerjakan rutinitas, air tak kunjung berhenti tercurah dari langit bahkan semakin merajalela. Sementara menunggu dengan hati gundah untuk segera pulang, setelah berkali-kali keluar masuk ruangan untuk melihat tetes air hujan, akhirnya kupaksakan untuk pulang.

Setelah melalui perjalanan panjang didalam angkot sambil menggerutu karena serasa roda tak mau bergeming berputar untuk mengantarkan ke tempat tujuan, demikian juga dengan penumpang yang lain yang tak kalah tak sabarnya dengan saya. Klakson sudah menjadi suara tak terpisahkan dari jalanan yang macet.

Masih tiga perempat perjalanan lagi yang perlu dilalui, rasanya ingin sekali untuk cepat ke tujuan, ternyata bayangan itu masih jauh dari harapan. Kembali suara knalpot dan klakson berpadu menghasilkan simponi khas kemacetan, dengan aroma asap dari solar oplosan maupun bensin tanpa timbal yang mahal.

Tunggu ditunggu ternyata angkutan yang harusnya membawa saya menuju tujuan tak juga kunjung nampak, banyak orang lalu lalang kebingungan tak tentu arah untuk menyelamatkan dirinya dari kepungan air atau yang sedang sibuk untuk mencari moda-moda yang akan membawanya.

Kenek seenaknya menaikkan tarif sepertinya mencari keuntungan berlipat dengan menggunakan alasan kemacetan, tak ada pilihan lain dari penumpang. "Kalideres, 2000 ... lewat tol!"

Bosan rasanya menunggu, tak ada pilihan lain harus sampai tujuan dengan jalan apapun. Membayangkan begitu jauhnya jarak rasanya mustahil untuk berjalan kaki, tapi bagaimana lagi kalau roda moda tak ada yang mau berputar cepat.

Mulailah berjalan menyusuri trotoar becek dengan warna lumpur kecoklatan, sambil mulut komat-kamit sendiri menyatakan kekesalan meski tidak tahu ditujukan kepada siapa.
Setelah berjalan lama akhirnya kenikmatan itu muncul, bercanda dengan orang-orang yang bernasib sama, bahkan ada rekan sudah menyusuri jalan lebih jauh lagi, dari pancoran menuju grogol mulai pukul 5 petang, heh?. Rasanya aku sudah menyalahkan Tuhan karena membuat pegal kakiku.

Malam itu aku melihat lahan parkir yang luar biasa panjang dan lebar dari Tomang sampai Citraland. Terbersit di benakku, terimakasih Tuhan karena kau memberikan harta sepasang kaki ini untukku sehingga ku tak perlu memikirkan harta benda yang lain lagi seperti mereka, yang pastinya kuatir bila asetnya diperdaya.

Menyusuri jalan tol yang begitu sepi, berjalan tanpa ada gangguan berarti sambil menikmati dibawah rintikan hujan. Sampai akhirnya terlihat dari kepala kemacetan, air seperti ditumpahkan dari sungai yang tak mampu lagi menerimanya. Terlihat beberapa orang mengambil rejeki dari banjir lokal ini, dengan gerobaknya mereka sibuk mengangkut motor yang ingin cepat sampai dirumah untuk bertemu dengan anggota keluarganya

Terimakasih Tuhan, akhirnya sampailah di tujuan jam 23.01 dengan perut yang lapar, tenggorokan kering, baju dan celana basah, tak ada hal yang terjadi ... ah untunglah.

Jakarta ... ini ibukotaku?
Fenomena alam yang membuat warganya kalang kabut.
Motor dan mobil saling berebut jalan untuk mencari jalan keluar, meski dimana-mana air siap menelan mereka. Vonis Banjir sudah menjadi image dari hujan di Jakarta.

"Golkar menang, jalanan macet"

Seperti saya kutip celetukan dari seseorang yang berjalan bersama-sama untuk mengungkapkan kekesalan akan pemerintah yang seakan tak peduli dengan nasib warganya.

Harapan tinggal harapan, tapi tetaplah berharap agar pemerintahan baru dapat membenahi alam yang mengamuk karena perbuatan manusia itu sendiri.


Jakarta, 22 April 2004, 1:08 am